
');
Wuku adalah bagian dari suatu siklus dalam penanggalan Jawa dan Bali yang berumur tujuh hari (satu pekan). Siklus wuku berumur 30 pekan (210 hari), dan masing-masing wuku memiliki nama tersendiri. Perhitungan wuku (bahasa Jawa: pawukon) masih digunakan di Bali dan Jawa, terutama untuk menentukan “hari baik” dan “hari buruk” serta terkait dengan weton.
Seiring perkembangan zaman…, sekarang sudah hampir punah dan dianggap semua hari itu baik. Tidak ada lagi “hari baik” dan ‘hari buruk” khususnya oleh kaum milenial yang sudah tidak mengerti lagi hitungan-hitungan jawa seperti pawukon ini. Padahal jika dipahami perhitungan pawukon peninggalan para leluhur itu ada baiknya dan ada benarnya juga. Bukan ilmu klenik tapi semacam ilmu perbintangan dan ilmu Titen=niteni dari kejadian demi kejadian dalam kurun waktu tertentu.
Ide dasar perhitungan menurut wuku adalah bertemunya dua hari dalam sistem Pancawara (pasaran : Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon) dan Saptawara (pekan : Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, Minggu) menjadi satu. Sistem pancawara atau pasaran terdiri dari lima hari, sedangkan sistem saptawara terdiri dari tujuh hari. Dalam satu wuku, pertemuan antara hari pasaran dan hari pekan sudah pasti, misalkan hari Sabtu Pon terjadi dalam wuku Wugu. Menurut kepercayaan tradisional orang Bali dan Jawa, semua hari-hari ini memiliki makna khusus.
Perhitungan pawukon atau wuku biasanya orang jawa menyebutnya, termasuk dalam perhitungan Primbon Jawa dan sangat dibutuhkan dalam setiap Almanak Jawa dimasa lalu maupun masa sekarang; ibaratnya almanak jawa tanpa pawukon seperti sayur tanpa garam rasanya hambar atau cemplang orang jawa bilang.
Para leluhur orang jawa zaman dulu dalam menghitung primbon dengan bermacam-macam cara, termasuk salah satunya pawukon yang dirasa sangat perlu. Perhitungan ini digunakan untuk menjauhkan diri dari segala malapetaka atau sangkala (kala), serta untuk mendekatkan pada keselamatan, dan nyatanya memang semua orang membutuhkan hal yang demikian ini. Sampai dengan sekarang perhitungan primbon Jawa masih digunakan olah orang jawa, walaupun sudah tidak banyak yang paham apa itu pawukon atau wuku.
Nama-nama wuku yang tiga puluh didasarkan pada suatu kisah mengenai suatu kerajaan yang dipimpin oleh Prabu Watugunung. Raja ini beristri Sinta dan memiliki 28 putra. Nama-nama semua tokoh inilah yang menjadi nama-nama setiap wuku. Setiap wuku dijaga oleh seorang dewa pelindung, memiliki pohon simbolik, hewan simbolik, tipe rumah (gedhong), candra (“penciri”), perlambang (dinyatakan dalam suatu peribahasa), ruwatan-nya (sedekah untuk menolak bala), kala sial (sengkala bilahi, situasi yang membawa petaka), dan dunung (arah mata angin yang membawa sial).
Nama alternatif, biasanya yang dipakai di Bali. Apabila dilihat biasanya hanya ejaannya saja yang agak berbeda.
https://id.wikipedia.org/wiki/Wuku
Prabu Watugunung adalah raja negara Giling Wesi. Menurut rwayatnya, ia putra raja Prabu Palindriya, tetapi sewaktu ia masih di dalam kandungan ibunya yaitu Dewi Sinta, ia meninggalkan istana karena dimadu dengan saudaranya sendiri.
Selama perjalanan, Dewi Sinta melahirkan di tengah rimba seorang putra yang diberi nama Raden Wudug. Suatu waktu, ketika Raden Wudug masih kanak-kanak, ia dimarahi oleh ibunya dan kepalanya dipukul dengan centong nasi hingga luka. Oleh karena itu Raden Wudug meninggalkan ibunya dan berganti nama Radite.
Raden Radite kemudian, karena kesaktiannya, berhasil menjadi raja di Gilingwesi dan bergelar Prabu Watugunung. Ia berpermaisuri seorang putri yang sangat dicintainya, tetapi permaisuri itu sebenarnya ialah ibunya sendiri dan ini telah terjadi diluar pengetahuan mereka masing masing.
Rahasia itu baru diketahui, ketika petan (mencari kutu), Permaisuri melihat cacad di kepala prabu Watugunung dan sang Prabu bercerita tentang asal mula cacad itu terjadi. Dewi Sinta sangat terkejut mengetahui hal itu karena yakin kalau ternyata Prabu Watugunung yang sekarang menjadi suaminya adalah anak kandungnya sendiri, tetapi hal itu tidak disampaikannya kepada Prabu Watugunung.
Untuk menghindari peristiwa keji itu, Dewi Sinta minta, supaya Watugunung mengambil seorang bidadari untuk dijadikan madunya.
Prabu Watugunung meluluskan permintaannya itu dan pergi ke Suralaya untuk mencari seorang bidadari yang akan dijadikan madu permaisurinya (selir). Terjadilah perang dan Prabu Watugunung tewas dalam perang itu. Memang itulah yang diharapkan oleh Dewi Sinta.
Watugunung adalah juga termasuk dalam nama wuku. Dengan wuku dimaksud hitungan hari bulan yang pada tiap bagian menerangkan perihal hari lahir seseorang dengan disertai ramalan kehidupannya sehubungan dengan hari lahirnya itu.
Dipandang sepintas lalu, ramalan tersebut tampaknya seperti takhayul, tetapi kalau diteliti benar-benar ada hubungannya juga sebenarnya dengan perhitungan waktu di bumi yang senyatanya, misalnya perihal hujan, segala perhitungan mengenai masa banyak cocoknya dan bukan takhayul belaka.
Jalannya perhitungan waktu berturut-turut, sambung-menyambung dengan tiap hari Minggu.
Sumber : KiDemang.com
Selamat datang kembali, silahkan login ke akun Anda.
Belum menjadi member? Daftar